Friday, September 15, 2006

Khotbah

Baru-baru ini, sewaktu saya berkumpul dengan buah hati saya di rumah selepas maghrib, terdengarlah pengajian dari sebuah masjid yang berjarak sekitar 150 meter dari rumah kontrakan kami. Isi khotbahnya cukup bagus, terutama bagi yang sudah berkeluarga. Sambil bermain dengan istri dan Tristan, saya membagi perhatian untuk memdengakan khotbah tersebut.

Khotib yang menyampaikan khotbah tersebut dengan berapi-api. Suaranya semakin keras karena dimasukkan ke pengeras suara yang biasa hanya digunakan untuk mengumandangkan adzan. Sebenarnya, saya kurang setuju dengan cara seperti ini, karena akan mengganggu orang lain yang tidak seiman.

Tapi, yang mengagetkan adalah tanggapan Tristan yang baru akan berusia 3 tahun bulan akhir bulan depan (kejadian ini sekitar bulan April 2006). “Ayah, ada orang marah-marah," kata Tristan. Secara spontan saya memberitahu bahwa orang tersebut (khotib) tidak marah, tetap sedang berkhotbah. Tetapi, Tristan ternyata tidak sependapat dengan saya. Tristan tetap menganggap, setiap orang yang berbicara dengan nada tinggi adalah orang yang sedang marah. Seperti sejak bayi, Tristan relative sensitive terhadap suara orang yang berbicara dengan keras. Tristan selalu takut melihat orang yang sedang marah.

Setelah itu, saya baru menyadari, bahwa ada dua pelajaran yang diambil dari kejadian ini. Pertama perlunya melihat urgensinya mengeraskan pengajian yang dilakukan di masjid sehingga memekak telinga dan yang kedua adalah perlunya menjaga sang khotib untuk menjaga intonasi. Mungkin sang khotib tidak salah, karena audensi yang ada di masjid tersebut adalah orang-orang dewasa, bukan anak-anak seperti Tristan. Hanya saja, ternyata khotbahnya terdengar oleh Tristan, yang selalu takut melihat ataupun mendengar orang yang marah.

Semoga hal ini bisa menjadi pelajari bagi saya, istri saya dan orang-orang yang mau berbagi.

No comments: