Wednesday, December 05, 2007

Ekspresi BAB

Shoot with Olympus E-510, Lens: Zuiko 14-42mm, Hoya UV (0), Speed 1/30, F/5.6 ISO: 400
Date: December 02, 2007 - 6:56

Friday, September 14, 2007

Nafisha Humaira Raharjo

Seperti halnya kakaknya, Nafisha juga lahir hampir sesuai dengan HPL (hari perkiraan lahir) yang diperkirakan oleh dokter. Nafisha lahir ke tengah dunia ini pada tanggal 3 Oktober 2006, sama seperti kakaknya juga di Rumah Sakit Pondok Indah. Akan tetapi, Nafisha tetap memiliki keunikan dalam proses kehadirannya di tengah keluarga kami,
Sebelum diketahui hamil Nafisha, kami sekeluarga, bersama dengan Tristan dan Tante Denok, menyempatkan bermain ke taman safari di puncak. Kami mengajak Denok dan Tristan, karena Tristan ingin main ke taman safari (dulu pernah bersama Tante Anis - kakaknya Tante Denok) dan Denok juga belum pernah ke Taman Safari. Dan tanpa kami sadari, kami bermain semacam kereta luncur. Rencananya sih supaya Tristan juga bisa belajar stress dari ketinggian.. hi hi hi.... Acara bermain ini sukses, dan Denok pun pulang ke Jember.
Sampai hari Rabu minggu berikutnya, seharusnya Yuyun sudah menstruasi, tetapi tidak juga mens. Akhirnya hari Kamis pagi, ketika bangun tidur, kami coba melakukan test dengan test pack. Hasilnya positif. Untuk menyakinkan, hari sabtunya kami coba konsultasi ke dokter kandungan di RSPI. Dari hasil USG, memang positif hamil.
Padahal sebelumnya diajak naik roller coaster. Untung tidak terjadi apa-apa. Masa kehamilan Nafisha pun hampir seperti kakaknya, yaitu diawali dengan turun berat badan. Bedanya, pada saat 3 bulan pertama hamil Tristan, Yuyun belum bekerja. Saat hamil Nafisha, Yuyun tinggal di Bandung hanya bersama Tristan dan bekerja setiap hari. Aduh, semoga Nafisha jadi anak yang tegar seperti bundannya. Hampir setiap hari harus gendong Tristan di depan, gendong Nafisha di perut dan bawa tas ransel di punggung yang isinya 90% barang-barangnya Tristan, mulai dari baju ganti, pampers sampai mainannya.
Tristan sebenarnya mengharap mendapat adik laki-laki, sehingga pada saat diberitahu bahwa yang ada di kandungan bundanya itu adalah adik perempuan, Tristan sempat protes kepada dokter di RS Hermina Bandung. Kami juga mulai mencoba membiasakan Tristan untuk dipanggil kakak, dan mengajak berkomunikasi dengan Nafisha yang ada di dalam kandungan. Hal ini supaya menimbulkan rasa sayang dan menghilangkan rasa cemburu yang berlebihan – harapan kami.
Masa terpisah kota akhirnya berakhir pada awal September 2006, seiring dengan perpindahan Yuyun ke Jakarta. Untung saja, bias berkumpul sebelum Nafisha lahir. Tidak terbayangkan kalau harus berpisah lagi setelah cuti melahirkan Nafisha berakhir. Kami akhirnya bias berkumpul di sebuah rumah sederhana yang masih kami cicil, rumah jepari – jerih payah sendiri. Dan Nafisha mulai memposisikan diri untuk kelahirannya. Dengan kandungan yang sebesar itu, 8 bulan, Nafisha membantu bunda dan kakaknya untuk menata rumah seadanya. Berbagai tumpukan kardus diangkat bunda bersama Nafisha..... semoga engkau benar-benar menjadi gadis yang tangguh...
Hanya sebulan setelah kami menempati rumah jepari kami, Nafisha masih belum menunjukkan tanda-tanda ingin melihat dunia. Seperti halnya Tristan, sampai minggu ke-40, hari Sabtu tanggal 30 September 2006, kami mencoba bertemu dengan dokter di rumah sakit. Akan tetapi, ternyata dokternya tidak praktek hari tersebut. Disarankan untuk datang di waktu praktek lain, yaitu hari Senin. Akhirnya, setelah pulang dari kerja, saya buru-buru pulang ke rumah untuk antar Yuyun periksa ke dokter. Tristan seperti biasa, tidak bisa ditinggal, walaupun di rumah sebenarnya ada Eyang Ibu yang sudah mulai dekat lagi dengan Tristan setelah beberapa hari sampai di Jakarta. Ternyata, sesampainya di RSPI, dokter kandungannya tidak praktek lagi karena anaknya sedang sakit. Sebenarnya kami akan pulang ke rumah saja, tetapi suster yang sedang bertugas menyarankan Yuyun untuk diperiksa dahulu kandungannya di ruang VK, karena usia kandungan yang sudah memasuki minggu ke 41. Alhamdulillah, pada saat diperiksa, ternyata Yuyun sudah memasuki fase bukaan 3. Yuyun tidak lagi boleh meninggalkan rumah sakit, karena diperkirakan akan melahirkan dalam hitungan jam. Apa boleh buat, langsung saja saya pesan kamar dan mengurus asuransinya. Setelah selesai, dan Yuyun masuk ke kamar inap, sekarang yang jadi masalah adalah mengantar pulang Tristan.
Dari rumah sakit sampai di rumah tidak ada masalah. Yang jadi masalah ketika saya akan berangkat lagi ke RSPI. Tristan meraung-raung ingin ikut lagi. Akhirnya dengan ketegaan hati, terpaksa saya tinggal Tristan dengan eyang Ibu, walaupun dengan muntah-muntah sebelum tidur. Menurut eyangnya, Tristan akhirnya bisa tidur setelah kecapekan menangis dan muntah-muntah.... duh, kasihan anak ganteng itu....
Balik ke RSPI sekitar jam 23:00. Setelah ngobrol-ngrobrol bentar dengan Yuyun, kami memutuskan untuk istirahat. Siapa tahu besok hari yang melelahkan. Sekitar jam 24:00 tanggal 3 Oktober 2006, sesaat sebelum tertidur, tiba-tiba Yuyun merasa seperti ada cairan yang keluar. Wah, kami langsung menyimpulkan, pasti ketuban sudah pecah. Pelan-pelan saya tuntun Yuyun kembali ke VK untuk diperiksa. Suster jaga menyatakan bahwa kesimpulan kami benar, dan Yuyun tidak diperbolehkan kembali ke kamar. Jam demi jam, menit demi menit, detik demi detik, kontraksi Yuyun semakin sering. Sampai sekitar jam 02.30, Yuyun semakin kesakitan. Keadaan tambah tegang, karena sebelah kamar melahirkan sampai teriak-teriak. Heboh sekali. Selain itu, pernafasan Yuyun juga agak terganggung karena pilek dan hidung tersebut. Jadi, tarikan nafas yang bisa dilakukan untuk membantu mengurangi rasa sakit pada saat kontraksi sulit dilakukan dengan baik dan benar. Kami juga tegang, karena dokter kandungan kami tidak akan bisa hadir karena sedang menunggui anaknya yang dirawat di rumah sakit lain. Saat itu, hanya ada 1 dokter kandungan yang bertugas, dan sedang membantu pasien di kamar sebelah untuk melahirkan. Alhamdulillah, sekitar jam 03:00 kurang, proses di kamar sebelah telah selesai. Belum sempat dokter istirahat, langsung diminta suster untuk menangani kelahiran Nafisha. Jam 03:00 lebih sedikit, dokter sudah siap di depan Yuyun. Dengan 1 sentakan - mungkin karena sudah pernah melahirkan - lahirlah bayi mungil nan cantik kami, Nafisha Humaira Raharjo Leman Soemowidagdo tepat pada jam 03.25 WIB. Dengan panjang 48cm dan berat 3.318 gram, Nafisha hadir melengkapi keluarga kami dengan sepasang anak. Seperti biasa, Nafisha langsung dibersihkan terlebih dahulu dan dokter merawat sobekan jalan lahir Yuyun. Sesaat Yuyun selesai dirawat, maka saya sempatkan turun sebentar ke sebuah rumah makan padang di seberang RSPI untuk bersahur. Ya, karena bulan Oktober 2006 adalah bulan puasa. Setelah Nafisha bersih, maka saatnya kami berkumpul bertiga. Allahu Akbar... saya kumandangkan adzan dan iqamah kepada Nafisha. Nafisha pun dengan tidak sabar ingin segera belajar menetek kepada bundanya. Sambil terus mengagumi kecantikannya, kami pun berkabar kepada sanak saudara sampai Yuyun diperbolehkan kembali ke kamar untuk beristirahat sekitar jam 5.30

Wednesday, July 11, 2007

Monyet

Saya mendapatkan inspirasi tulisan ini pad saat kemarin saya makan siang di sore hari, di teras kantin kantor saya. Sembari menikmati makan siang yang terlambat tersebut, duduklah seorang karyawan kantor saya (saya tidak mengenalnya karena memang karyawan kantor saya banyak sekali) di meja yang ada di hadapan saya. Sambil menyalakan rokok, dia menelpon seseorang.
"monyet, dimana elu?"
"Ah manja sekali sekali sih? bawa sendiri kenapa sih?"
"Kayak gak punya tangan dan kaki saja"
Sesaat kemudian, orang tersebut meletakan rokoknya dan masuk ke dalam kantin (karena di dalam kantin tidak boleh merokok). Tidak berapa lama, keluarlah dia bersama seorang wanita, yang menurut saya jauh sekali dari bentuknya dari seekor monyet. Selain itu, wanita tersebut memiliki tangan dan kaki yang lengkap, wajah yang cantik rupawan. Semakin terpesona saya atas kejadian itu karena wanita itu membawakan gorengan dan minum untuk sang lelaki. Dapat dipastikan, wanita itu adalah kekasih sang lelaki.
Ada dua hal yang membuat saya berpikir tentang kejadian ini. Yang pertama, sangat tidak menghargai sekali si laki-laki yang jagoan ini. Memanggil kekasihnya dengan monyet. Selain itu, hampir tidak mau membantu sang wanita untuk membawakan makanan dan minuman, yang notabene dimakan dan diminum juga olehnya. Yang kedua, kalau sang lelaki memangil sang wanita sebagai monyet, berarti sang lelaki tersebut juga monyet. Dan yang bisa mengerti bahasa monyet adalah monyet juga. Berarti saya dan pembaca semua adalah monyet.... ha ha ha ha....
Bukan itu maksud saya. Saya hanya ingin mengingatkan pembaca blog saya, untuk lebih menghargai sesama manusia. Terutama sekali menghargai wanita. Walau bagaimanapun, dari wanita-wanita yang pemberanilah kita dilahirkan. Selain itu, banyak juga wanita pemberani yang gagal menyelesaikan tugasnya, sehingga terpaksa gugur sebagai syuhada sewaktu melahirkan kita ini. Tanpa wanita-wanita itu, kita mungkin juga tidak bisa hidup sampai sekarang, karena merawat bayi itu ternyata sangat-sangat sulit dan ribet dengan segala tetek bengeknya.
Intinya, hargailah sesama manusia, terutama wanita. Saya tahu pasti, pembaca blog saya bisa mencari kelebihan wanita dibandingkan laki-laki.

Friday, July 06, 2007

Cerita pengantar tidur - Kancil dan Buaya

Suatu hari kancil sedang kelaparan mencari-cari mentimun. Dimana-mana dia tidak menemukan mentimun yang siap dimakannya. Selalu ditemuinya kebun yang usai dipanen, atau kebun yang berisi mentimun-mentimun yang masih terlalu muda. Sambil berjalan dengan gontai, kancil akhirnya bertemu dengan Kodi si Kodok kecil.
"Kenapa kancil berjalan gontai sekali?" tanya Kodi
"Aku lapar sekali Kodi. Dari tadi mencari mentimun tidak pernah dapat. Engkau tahu tidak, tempat yang banyak mentimunnya?" tanya Kancil kepada Kodi
"Eeeeee, aku tahu. Tapi aku tidak yakin engkau bisa ke sana" jawab Kodi
"Dimana itu Kodi!!!" seru Kancil senang sekali.
"Tidak jauh dari sini. Hanya menyeberangi sungai kecil ini" jawab Kodi
"Tapi, bukannya sungai ini penuh dengan buaya?" tanya Kancil
"Nah, itu masalahnya kenapa aku tidak yakin engkau bisa ke sana" ujar Kodi selanjutnya.
Kancil diam. Di satu sisi, dia lapar sekali dan ingin makan mentimun banyak-banyak. Di sisi lain, dia juga tahu bahwa buaya-buaya di sungai itu sangat ganas-ganas sekali. Melihat kancil diam, Kodi pun pergi untuk melanjutkan perjalanannya tanpa melupakan untuk berpamitan terlebih dahulu.
Sampai akhirnya kancil di pinggir sungai itu dan terlihat oleh seekor buaya.
"Ha ha ha, kenapa Cil, sudah bosan hidup dan menyerahkan badanmu untuk aku makan?" tanya Dille si buaya.
"Tidak Dille. Buat apa aku menyerahkan badanku yang kurus sekali ini kepadamu? Pasti tidak mengenyangkan perutmu. Lebih baik, engkau antar aku ke seberang sungai ini. Di sana ada kebun mentimun yang luas sekali. Nanti, setelah aku gemuk, bolehlah engkau makan aku sebagai balas jasanya" ujar kancil tanpa putus-putus.
Berpikirlah Dille dengan baik. Kalau sekarang kancil dimakannya, tentuk kurang enak dibandingkan jika setelah kancil kenyang. Dan berkatalah Dille: "Naiklah ke punggungku, akan aku seberangkan dirimu ke kebun mentimun. Asalkan engkau tidak mengingkari janjimu".
Maka diseberangkanlah si Kancil ke kebun mentimun itu. Begitu sampai di seberang sungai, tidak lupa mengucapkan terimakasihnya, kancil segera menyantap mentimun-mentimun yang segar sekali tersebut.
Setelah kenyang dan sempat tertidur sebentar, si Kancil ingin pulang ke rumahnya. Di pinggir sungai si Kancil diam seribu bahasa melihat 8 ekor buaya berenang kian kemari. Buaya yang tadi sudah menyeberangkan si Kancil berteriak: "Bagaimana kancil? Sudahkah kau kenyang? Hendak kami makan bagaimana kancil yang malang ini?"
Dengan cepat kancil mendapatkan ide cemerlang.
"Kami? Maksudmu kalian semua yang akan memakan aku?" tanya kancil.
"Iya, kami semua. Apakah engkau keberatan?" tanya Dille
"Wah, kalau harus semuanya, aku harus menghitung kalian semua. Aku takut tidak cukup"
"Menghitung? Menghitung kami semua?" tanya Dille dan kawan-kawannya
"Iya, menghitung kalian semua. Apakah kalian tahu jumlah kalian semua?" tanya kancil kemudian.
"Hmmm, tidak tahu. Kami tidak tahu jumlah kami semua" jawab kawanan buaya tersebut.
"Baiklah, kalian berjajar sepanjang sungai ini, nanti aku akan menghitungnya. Berjajar yang rapi ya...." Kata si Kancil dengan cerdiknya.
Setelah buaya-buaya tersebut berjajar hinggu diseberang sungai ini, kancil mulai menghitung dengan menginjak kepala setiap buaya sampai masing-masing buaya berteriak mengaduh kesakitan. Begitu sampai di seberang segera kancil berlari menjauh dari sungai sambil berteriak "Delapan dan terimakasih buaya-buaya tolol. Aku sudah memeriksa kepala kalian yang ternyata memang tidak ada yang punya otak". Dille dan kawan-kawannya hanya bisa memaki dan marah atas kebodohan mereka sendiri, sehingga kancil bisa meloloskan diri dari santapan mereka.