Wednesday, July 11, 2007

Monyet

Saya mendapatkan inspirasi tulisan ini pad saat kemarin saya makan siang di sore hari, di teras kantin kantor saya. Sembari menikmati makan siang yang terlambat tersebut, duduklah seorang karyawan kantor saya (saya tidak mengenalnya karena memang karyawan kantor saya banyak sekali) di meja yang ada di hadapan saya. Sambil menyalakan rokok, dia menelpon seseorang.
"monyet, dimana elu?"
"Ah manja sekali sekali sih? bawa sendiri kenapa sih?"
"Kayak gak punya tangan dan kaki saja"
Sesaat kemudian, orang tersebut meletakan rokoknya dan masuk ke dalam kantin (karena di dalam kantin tidak boleh merokok). Tidak berapa lama, keluarlah dia bersama seorang wanita, yang menurut saya jauh sekali dari bentuknya dari seekor monyet. Selain itu, wanita tersebut memiliki tangan dan kaki yang lengkap, wajah yang cantik rupawan. Semakin terpesona saya atas kejadian itu karena wanita itu membawakan gorengan dan minum untuk sang lelaki. Dapat dipastikan, wanita itu adalah kekasih sang lelaki.
Ada dua hal yang membuat saya berpikir tentang kejadian ini. Yang pertama, sangat tidak menghargai sekali si laki-laki yang jagoan ini. Memanggil kekasihnya dengan monyet. Selain itu, hampir tidak mau membantu sang wanita untuk membawakan makanan dan minuman, yang notabene dimakan dan diminum juga olehnya. Yang kedua, kalau sang lelaki memangil sang wanita sebagai monyet, berarti sang lelaki tersebut juga monyet. Dan yang bisa mengerti bahasa monyet adalah monyet juga. Berarti saya dan pembaca semua adalah monyet.... ha ha ha ha....
Bukan itu maksud saya. Saya hanya ingin mengingatkan pembaca blog saya, untuk lebih menghargai sesama manusia. Terutama sekali menghargai wanita. Walau bagaimanapun, dari wanita-wanita yang pemberanilah kita dilahirkan. Selain itu, banyak juga wanita pemberani yang gagal menyelesaikan tugasnya, sehingga terpaksa gugur sebagai syuhada sewaktu melahirkan kita ini. Tanpa wanita-wanita itu, kita mungkin juga tidak bisa hidup sampai sekarang, karena merawat bayi itu ternyata sangat-sangat sulit dan ribet dengan segala tetek bengeknya.
Intinya, hargailah sesama manusia, terutama wanita. Saya tahu pasti, pembaca blog saya bisa mencari kelebihan wanita dibandingkan laki-laki.

Friday, July 06, 2007

Cerita pengantar tidur - Kancil dan Buaya

Suatu hari kancil sedang kelaparan mencari-cari mentimun. Dimana-mana dia tidak menemukan mentimun yang siap dimakannya. Selalu ditemuinya kebun yang usai dipanen, atau kebun yang berisi mentimun-mentimun yang masih terlalu muda. Sambil berjalan dengan gontai, kancil akhirnya bertemu dengan Kodi si Kodok kecil.
"Kenapa kancil berjalan gontai sekali?" tanya Kodi
"Aku lapar sekali Kodi. Dari tadi mencari mentimun tidak pernah dapat. Engkau tahu tidak, tempat yang banyak mentimunnya?" tanya Kancil kepada Kodi
"Eeeeee, aku tahu. Tapi aku tidak yakin engkau bisa ke sana" jawab Kodi
"Dimana itu Kodi!!!" seru Kancil senang sekali.
"Tidak jauh dari sini. Hanya menyeberangi sungai kecil ini" jawab Kodi
"Tapi, bukannya sungai ini penuh dengan buaya?" tanya Kancil
"Nah, itu masalahnya kenapa aku tidak yakin engkau bisa ke sana" ujar Kodi selanjutnya.
Kancil diam. Di satu sisi, dia lapar sekali dan ingin makan mentimun banyak-banyak. Di sisi lain, dia juga tahu bahwa buaya-buaya di sungai itu sangat ganas-ganas sekali. Melihat kancil diam, Kodi pun pergi untuk melanjutkan perjalanannya tanpa melupakan untuk berpamitan terlebih dahulu.
Sampai akhirnya kancil di pinggir sungai itu dan terlihat oleh seekor buaya.
"Ha ha ha, kenapa Cil, sudah bosan hidup dan menyerahkan badanmu untuk aku makan?" tanya Dille si buaya.
"Tidak Dille. Buat apa aku menyerahkan badanku yang kurus sekali ini kepadamu? Pasti tidak mengenyangkan perutmu. Lebih baik, engkau antar aku ke seberang sungai ini. Di sana ada kebun mentimun yang luas sekali. Nanti, setelah aku gemuk, bolehlah engkau makan aku sebagai balas jasanya" ujar kancil tanpa putus-putus.
Berpikirlah Dille dengan baik. Kalau sekarang kancil dimakannya, tentuk kurang enak dibandingkan jika setelah kancil kenyang. Dan berkatalah Dille: "Naiklah ke punggungku, akan aku seberangkan dirimu ke kebun mentimun. Asalkan engkau tidak mengingkari janjimu".
Maka diseberangkanlah si Kancil ke kebun mentimun itu. Begitu sampai di seberang sungai, tidak lupa mengucapkan terimakasihnya, kancil segera menyantap mentimun-mentimun yang segar sekali tersebut.
Setelah kenyang dan sempat tertidur sebentar, si Kancil ingin pulang ke rumahnya. Di pinggir sungai si Kancil diam seribu bahasa melihat 8 ekor buaya berenang kian kemari. Buaya yang tadi sudah menyeberangkan si Kancil berteriak: "Bagaimana kancil? Sudahkah kau kenyang? Hendak kami makan bagaimana kancil yang malang ini?"
Dengan cepat kancil mendapatkan ide cemerlang.
"Kami? Maksudmu kalian semua yang akan memakan aku?" tanya kancil.
"Iya, kami semua. Apakah engkau keberatan?" tanya Dille
"Wah, kalau harus semuanya, aku harus menghitung kalian semua. Aku takut tidak cukup"
"Menghitung? Menghitung kami semua?" tanya Dille dan kawan-kawannya
"Iya, menghitung kalian semua. Apakah kalian tahu jumlah kalian semua?" tanya kancil kemudian.
"Hmmm, tidak tahu. Kami tidak tahu jumlah kami semua" jawab kawanan buaya tersebut.
"Baiklah, kalian berjajar sepanjang sungai ini, nanti aku akan menghitungnya. Berjajar yang rapi ya...." Kata si Kancil dengan cerdiknya.
Setelah buaya-buaya tersebut berjajar hinggu diseberang sungai ini, kancil mulai menghitung dengan menginjak kepala setiap buaya sampai masing-masing buaya berteriak mengaduh kesakitan. Begitu sampai di seberang segera kancil berlari menjauh dari sungai sambil berteriak "Delapan dan terimakasih buaya-buaya tolol. Aku sudah memeriksa kepala kalian yang ternyata memang tidak ada yang punya otak". Dille dan kawan-kawannya hanya bisa memaki dan marah atas kebodohan mereka sendiri, sehingga kancil bisa meloloskan diri dari santapan mereka.